STRATEGI REVITALISASI
MINDSET PENCARI KERJA (Job Seeker)
KEPADA PENCIPTA
KERJA (Job Creator)
Ricky Ekaputra
Foeh*)
Abstrak
Setiap tahunnya angka
pengangguran terus bertambah. Memasuki 2011 pengangguran terbuka sekarang sebesar
9,25 juta jiwa, sedangkan data pengangguran terdidik menunjukkan kecenderungan
semakin meningkat dari tahun ke tahunnya. Hasil penelitian dan riset Deputi
Bidang Pemasaran dan Jaringan Usaha, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan
Menengah (UKM) pada tahun 2011 menunjukkan bahwa hanya sekira 6,12 persen
lulusan sarjana yang berminat menjadi wirausahawan. Selebihnya 83,18 persen
lebih berminat menjadi pegawai. Hal ini menjadi sebuah fenomena yang semakin
mengkhawatirkan karena membuktikan bahwa pola pikir para sarjana umumnya berorientasi
menjadi pegawai negeri atau karyawan swasta, padahal lapangan kerja baik di
swasta dan negeri sangat terbatas dibanding angkatan kerja. Sistem Pendidikan
di Indonesia justru melahirkan para pencari kerja baru, bukan pencipta lapangan
kerja. Mindset (pola pikir) kaum intelek mesti di revitalisasi agar terpola
menjadi job creator ketimbang menjadi
job seeker. Target program nasional
pada 2014 mendatang terpenuhi, minimal 2,5 persen dari jumlah penduduk di
Indonesia adalah berwirausaha. Mindset mahasiswa harus diubah dari pencari
menjadi pencipta kerja
Kata
Kunci: Mindset, Pencari Kerja, Pencipta Kerja, Kewirausahaan
Pendahuluan
Setiap manusia membutuhkan makanan, minuman, tempat tinggal, kepuasan
dan kebutuhan fisik lainnya selain dari kebutuhan akan rasa aman dan
perlindungan dari gangguan fisik dan emosional yang merugikan. Untuk memenuhi
akan semua kebutuhan tersebut seseorang harus bekerja. Lewat pekerjaan ada upah
yang diterima. Pekerjaan yang dilakukan dapat melalui sektor formal yang mana
adalah kegiatan usaha yang berlangsung secara formal kelembagaan seperti pada
kantor kantor pemerintahan, perusahaan, dan badan usaha, sedangkan sector
informal di identikan dengan usaha mikro, kecil dan menengah.
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) oleh Badan Pusat
Statistik (BPS) menyebutkan bahwa jumlah penduduk Indonesia pada akhir 2011 sekitar 118,6 juta orang atau
69% dari penduduk usia kerja diproyeksikan akan memasuki pasar kerja,
suatu jumlah yang sangat mengkhawatirkan melihat kemampuan ekonomi Indonesia
saat ini. Angkatan kerja yang menganggur diperkirakan mencapai sekitar
7,5 juta orang atau 6,4% dari angkatan kerja. Bahkan mereka yang lulus
perguruan tinggi semakin sulit mendapatkan pekerjaan, karena tidak banyak
terjadi ekspansi kegiatan usaha. Dalam keadaan seperti ini maka masalah
pengangguran termasuk yang berpendidikan tinggi akan berdampak negatif terhadap
stabilitas sosial dan kemasyarakatan.
Fenomena yang muncul adalah banyaknya lulusan perguruan tinggi yang
lebih memilih menjadi pegawai negeri/karyawan swasta (employee) ketimbang membuka lapangan kerja. Sikap mandiri dengan
tidak menggantungkan harapan untuk bekerja kantoran, atau menjadi
Pegawai/karyawan (employee), tampaknya belum akrab dalam benak sebagian besar
para calon sarjana. Mereka berasumsi bahwa ketika lulus kuliah, kemudian
mendapat pekerjaan kantoran, atau menjadi Pegawai/karyawan (employee), akan
menjamin masa depan mereka kelak. Padahal kesempatan kerja pada organisasi
pemerintahan hanya dibuka setiap tahun, bagi mereka yang berminat menjadi PNS
dengan tujuan untuk mengisi lowongan mereka yang telah pensiun, meninggal dunia
atau keluar dari pekerjaannya. Jumlah lowongan yang tersedia sangat sedikit
jika dibandingkan dengan jumlah yang melamar. Hal ini mendorong adanya
persaingan yang sangat ketat diantara para peserta tes. Semuanya berlomba
menjadi yang terbaik agar direkrut. Bagi mereka yang tidak lulus tes akan
menambah deretan jumlah angkatan kerja yang semakin bertambah dan bertambah.
Kenyataan bahwa sebagian besar lulusan Perguruan Tinggi adalah lebih
sebagai pencari kerja (job seeker) daripada pencipta lapangan pekerjaan (job
creator) merupakan salah satu penyebab tingginya angka pengangguran
berpendidikan tinggi. Hal ini dimungkinkan karena sistem pembelajaran yang
diterapkan di perguruan tinggi saat ini lebih terfokus pada bagaimana
menyiapkan para mahasiswa yang cepat lulus dan mendapatkan pekerjaan, bukan
sebagai lulusan yang siap bekerja dengan menciptakan pekerjaan. Selain itu
secara umum aktivitas kewirausahaan (Entrepreneurial Activity) mahasiswa
relatif masih rendah. Entrepreneurial
Activity diterjemahkan sebagai individu aktif dalam memulai bisnis baru dan
dinyatakan dalam persen total penduduk aktif bekerja. Semakin tinggi indek
Entrepreneurial Activity, maka semakin tinggi level entrepreneurship suatu
negara (Boulton dan Turner, 2005).
Kementerian Koperasi dan UKM menyatakan, bahwa populasi wirausaha di
Indonesia ternyata masih terbilang rendah. Dari jumlah penduduk yang mencapai
200 juta lebih, jumlah wirausaha baru di Indonesia baru mencapai 400 ribu orang
atau sekitar 0,2%. Idealnya, jumlah wirausaha mencapai 2% atau 4,8 juta
orang.
Pilihan yang diambil tidaklah keliru, tetapi juga tidak sepenuhnya
benar. Coba kita tanya kepada para mahasiswa, para calon sarjana tentang
rencana mereka setelah lulus kuliah nanti. Akan muncul berbagai jawaban
praktis-pragmatis yaitu “mencari kerja”., jika kita cermati lebih jauh hal ini menyiratkan
sebuah ketidakpastian. Apakah kita lantas membiarkan mereka terus berusaha mencari
pekerjaan, karena, mencari adalah sama dengan belum menemukan sesuatu. Proses
mencari tentu memakan waktu yang tidak menentu.
Fakta menunjukkan pilihan yang diambil oleh sebagian besar lulusan kita
saat ini lebih banyak menciptakan pengangguran dibandingkan meningkatkan jumlah
lapangan kerja. Sebagai akibat dari belum pulihnya iklim investasi, terbatas
peluang kerja, dan bertambahnya angkatan kerja baru dari pendidikan diploma dan
sarjana sebesar 1,5 juta jiwa hingga 2 juta jiwa per tahunnya maka tidak
mengherankan jumlah pengangguran terus bertambah setiap tahunnya.
Sudah saatnya, kita perlu
merevitalisasi mindset (pola pikir)
para lulusan perguruan tinggi dari mereka yang berpikir sebagai pencari kerja
menjadi seorang yang berpikir untuk menjadi pencipta kerja. Semangat
kewirausahaan harus ditanamkan dalam diri generasi bangsa kita sejak dini.
Sikap keragu-raguan, untuk berpindah dari kuadran “employee” ke kuadran “pengusaha/pemilik
usaha” harus dihilangkan. Kendati
untuk memulai suatu usaha membutuhkan setidaknya keberanian untuk mengexplorasi
ide bisnis dan menjadikannya bernilai.
Pola
pikir yang kita anut selama ini harus diperbaiki secara tepat antara lain:
1)
Tidak mempunyai keyakinan,
gantikan dengan sebuah keyakinan yang kokoh untuk menjadi yang terbaik
2)
Tidak mempunyai tujuan hidup
yang jelas, gantikan dengan menetapkan tujuan hidup yang jelas dan mantap
3)
Tidak mempunyai strategi
yang ampuh mengatasi kesulitan hidup, gantikan dengan belajar dari orang lain
dan berpikirlah secara komprehensif untuk mengatasi setiap persoalan yang
dihadapi
4)
Tidak mempunyai rencana yang
realistic, gantikan dengan tetapkan rencana yang masuk akal untuk dapat dicapai
dalam kurun waktu tertentu dengan cara yang elegan.
Untuk menumbuhkembangkan jiwa
kewirausahaan dan meningkatkan aktivitas kewirausahaan agar para lulusan
perguruan tinggi lebih menjadi pencipta lapangan kerja dari pada pencari kerja,
maka diperlukan suatu usaha nyata. Berbagai kebijakan dan program untuk
mendukung terciptanya lulusan perguruan tinggi yang lebih siap bekerja dan
menciptakan pekerjaan. Program Magang Kewirausahaan (MKU), Kuliah Kerja Usaha
(KKU), Kuliah Kewirausahaan (KWU), Program Kreativitas Mahasiswa (PKM), telah
banyak menghasilkan alumni yang terbukti lebih kompetitif di dunia kerja, dan
hasil-hasil karya invosi mahasiswa melalui PKM potensial untuk ditindaklanjuti
secara komersial menjadi sebuah embrio bisnis berbasis Ilmu Pengetahuan,
Teknologi dan Seni (Ipteks).
Wirausaha dan Kewirausahaan
Banyaknya jumlah pengangguran ini tak lepas dari paradigma berpikir
(mindset) generasi muda yang rata-rata ingin menjadi pegawai, sementara
ketersediaan lapangan kerja di sektor formal sangat terbatas. Hal ini sangat
disayangkan, mengingat kemampuan dan kreativitas generasi muda saat ini sangat
tinggi dan memiliki potensi untuk dikembangkan.
Menurut David McClelland, untuk menjadi negara maju dan makmur, minimal
jumlah wirausaha yang dibutuhkan adalah 2% dari total jumlah penduduk. Amerika
Serikat, tahun 2007 memiliki 11,5% entrepreneur, Singapura pada tahun 2005
memiliki 7,2 % entrepreneur, sedangkan Indonesia hanya memiliki 0,18%
entrepreneur.
Untuk menjadi sebuah negara maju, Indonesia perlu menambah lagi jumlah
pengusaha minimal dua persen dari total penduduk. Peran sektor swasta ikut
menentukan kemajuan bangsa. Jumlah usahawan di Indonesia saat ini masih 0,18
persen dan ini harus ditingkatkan minimal dua persen dari total penduduknya
guna menuju negara maju.
Dalam pandangan penulis, wirausaha adalah seseorang yang
mengkombinasikan sumber daya, tenaga kerja, material dan aset-aset lain
sehingga nilainya menjadi lebih tinggi dari sebelumnya.
Berwirausaha berarti menciptakan sesuatu yang tidak ada menjadi ada dan bermakna bagi manusia
melalui tindakan kreatif dan inovatif. Wirausahawan
cenderung menggunakan energinya untuk
melakukan dan membangun suatu kegiatan. Seorang wirausahawan yang tahu
bagaimana menemukan sesuatu, merangkai, dan mengendalikan sumber-sumber (yang
kadang-kadang dimiliki oleh orang lain) untuk mewujudkan tujuannya.
Pandangan penulis ini di pertegas
dengan pandangan Richard
Cantillon (1775) tentang Kewirausahaan yang didefinisikan
sebagai bekerja sendiri (self-employment). Seorang wirausahawan membeli
barang saat ini pada harga tertentu dan menjualnya pada masa yang akan datang
dengan harga tidak menentu.
Frank Knight (1921) mendefinisikan wirausahawan mencoba untuk memprediksi dan menyikapi
perubahan pasar. Definisi ini menekankan pada peranan wirausahawan dalam
menghadapi ketidakpastian pada dinamika pasar. Seorang wirausahawan disyaratkan
untuk melaksanakan fungsi-fungsi manajerial mendasar seperti pengarahan dan pengawasan.
Joseph Schumpeter (1934), memberikan arti Wirausahawan adalah seorang inovator yang
mengimplementasikan perubahan perubahan di dalam pasar melalui kombinasi-kombinasi
baru. Kombinasi baru tersebut bisa dalam bentuk (1) memperkenalkan produk baru
atau dengan kualitas baru, (2) memperkenalkan metoda produksi baru, (3) membuka
pasar yang baru (new market), (4) Memperoleh sumber pasokan baru dari bahan
atau komponen baru, atau (5) menjalankan organisasi baru pada suatu industri.
Schumpeter mengkaitkan wirausaha dengan konsep inovasi yang diterapkan dalam
konteks bisnis serta mengkaitkannya dengan kombinasi sumber daya.
Penrose (1963), berujar bahwa Kegiatan kewirausahaan mencakup indentifikasi
peluang-peluang di dalam system ekonomi. Kapasitas atau kemampuan manajerial
berbeda dengan kapasitas kewirausahaan.
Harvey Leibenstein (1968), Kewirausahaan mencakup kegiatan-kegiatann yang dibutuhkan
untuk menciptakan atau melaksanakan perusahaan pada saat semua pasar belum
terbentuk atau belum teridentifikasi dengan jelas, atau komponen fungsi
produksinya belum diketahui sepenuhnya.
Peter F. Drucker, berpendapat bahwa Kewirausahaan merupakan kemampuan dalam menciptakan sesuatu
yang baru dan berbeda. Pengertian ini mengandung maksud bahwa seorang
wirausahan adalah orang yang memiliki kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang
baru, berbeda dari yang lain. Atau mampu menciptakan sesuatu yang berbeda
dengan yang sudah ada sebelumnya.
Zimmerer dan Scarborough, berpendapat kewirausahaan sebagai suatu proses penerapan kreativitas dan
inovasi dalam memecahkan persoalan dan menemukan peluang untuk memperbaiki
kehidupan (usaha).
Salah satu kesimpulan yang
bisa ditarik dari berbagai pengertian tersebut adalah bahwa
- Seorang wirausahawan selalu diharuskan menghadapi resiko atau peluang yang muncul, serta sering dikaitkan dengan tindakan yang kreatif dan innovatif. Wirausahawan adalah orang yang merubah nilai sumber daya, tenaga kerja, bahan dan faktor produksi lainnya menjadi lebih besar daripada sebelumnya dan juga orang yang melakukan perubahan, inovasi dan cara-cara baru. Selain itu, seorang wirausahawan menjalankan peranan manajerial dalam kegiatannya, tetapi manajemen rutin pada operasi yang sedang berjalan tidak digolongkan sebagai kewirausahaan. Seorang individu mungkin menunjukkan fungsi.
- Kewirausahaan dipandang sebagai fungsi yang mencakup eksploitasi peluangpeluang yang muncul di pasar. Eksploitasi tersebut sebagian besar berhubungan dengan pengarahan dan atau kombinasi input yang produktif. kewirausahaan ketika membentuk sebuah organisasi, tetapi selanjutnya menjalankan fungsi manajerial tanpa menjalankan fungsi kewirausahaannya. Jadi kewirausahaan bias bersifat sementara atau kondisional. Kewirausahaan adalah proses penciptaan sesuatu yang berbeda nilainya dengan menggunakan usaha dan waktu yang diperlukan, memikul resiko finansial, psikologi dan sosial yang menyertainya, serta menerima balas jasa moneter dan kepuasan pribadi.
Ciri-ciri dan Sifat Kewirausahaan
Untuk dapat mencapai tujuan yang diharapkan, maka setiap
orang memerlukan ciri-ciri dan juga memiliki sifat-sifat dalam kewirausahaan.
Ciri-ciri seorang wirausaha adalah:
- Memiliki Rasa Percaya diri
- Selalu Berorientasikan tugas dan hasil
- Seorang Pengambil risiko
- Memiliki sikap Kepemimpinan
- Keorisinilan dalam usaha
- Selalu Berorientasi ke masa depan
- Memiliki kejujuran dan ketekunan
Sifat-sifat seorang
wirausaha adalah:
- Memiliki sifat keyakinan, kemandirian, individualitas, optimisme.
- Selalu berusaha untuk berprestasi, berorientasi pada laba, memiliki ketekunan dan ketabahan, memiliki tekad yang kuat, suka bekerja keras, energik ddan memiliki inisiatif.
- Memiliki kemampuan mengambil risiko dan suka pada tantangan.
- Bertingkah laku sebagai pemimpin, dapat bergaul dengan orang lain dan suka terhadap saran dan kritik yang membangun.
- Memiliki inovasi dan kreativitas tinggi, fleksibel, serba bisa dan memiliki jaringan bisnis yang luas.
- Memiliki persepsi dan cara pandang yang berorientasi pada masa depan.
- Memiliki keyakinan bahwa hidup itu sama dengan kerja keras.
Tahap-tahap kewirausahaan
Secara umum ada beberapa tahap-tahap dalam melakukan
wirausaha:
Tahap memulai; Tahap di mana seseorang yang berniat untuk melakukan usaha
mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan, diawali dengan melihat peluang
usaha baru yang mungkin apakah membuka usaha baru, melakukan akuisisi, atau
melakukan ‘’franchising’’. Tahap ini juga memilih jenis usaha yang
akan dilakukan apakah di bidang pertanian, industri, atau jasa.
Tahap melaksanakan usaha;
Dalam tahap ini seorang wirausahawan mengelola berbagai aspek yang
terkait dengan usahanya, mencakup aspek-aspek: pembiayaan, SDM, kepemilikan,
organisasi, kepemimpinan yang meliputi bagaimana mengambil risiko dan mengambil
keputusan, pemasaran, dan melakukan evaluasi.
Tahap mempertahankan usaha; Tahap di mana wirausahawan berdasarkan hasil yang telah
dicapai melakukan analisis perkembangan yang dicapai untuk ditindaklanjuti
sesuai dengan kondisi yang dihadapi.
Tahap mengembangkan usaha; Tahap di
mana jika hasil yang diperoleh tergolong positif atau mengalami perkembangan
atau dapat bertahan maka perluasan usaha menjadi salah satu pilihan yang
mungkin diambil.
Sikap wirausaha
Dari daftar ciri dan sifat watak seorang wirausahawan di
atas, dapat kita identifikasi sikap seorang wirausahawan yang dapat diangkat
dari kegiatannya sehari-hari, sebagai berikut:
- Disiplin; dalam melaksanakan kegiatannya, seorang wirausahawan harus memiliki kedisiplinan yang tinggi. Arti dari kata disiplin itu sendiri adalah ketepatan komitmen wirausahawan terhadap tugas dan pekerjaannya. Ketepatan yang dimaksud bersifat menyeluruh, yaitu ketepatan terhadap waktu, kualitas pekerjaan, sistem kerja dan sebagainya. Ketepatan terhadap waktu, dapat dibina dalam diri seseorang dengan berusaha menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan waktu yang direncanakan. Sifat sering menunda pekerjaan dengan berbagai macam alasan, adalah kendala yang dapat menghambat seorang wirausahawan meraih keberhasilan. Kedisiplinan terhadap komitmen akan kualitas pekerjaan dapat dibina dengan ketaatan wirausahawan akan komitmen tersebut. Wirausahawan harus taat azas. Hal tersebut akan dapat tercapai jika wirausahawan memiliki kedisiplinan yang tinggi terhadap sistem kerja yang telah ditetapkan. Ketaatan wirausahawan akan kesepakatan-kesepakatan yang dibuatnya adalah contoh dari kedisiplinan akan kualitas pekerjaan dan sistem kerja.
- Komitmen Tinggi; Komitmen adalah kesepakatan mengenai sesuatu hal yang dibuat oleh seseorang, baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain. Dalam melaksanakan kegiatannya, seorang wirausahawan harus memiliki komitmen yang jelas, terarah dan bersifat progresif (berorientasi pada kemajuan. Komitmen terhadap dirinya sendiri dapat dibuat dengan identifikasi cita-cita, harapan dan target-target yang direncanakan dalam hidupnya. Sedangkan contoh komitmen wirausahawan terhadap orang lain terutama konsumennya adalah pelayanan prima yang berorientasi pada kepuasan konsumen, kualitas produk yang sesuai dengan harga produk yang ditawarkan, penyelesaian bagi masalah konsumen, dan sebagainya.Seorang wirausahawan yang teguh menjaga komitmennya terhadapkonsumen, akan memiliki nama baik di mata konsumen yang akhirnya wirausahawan tersebut akan mendapatkan kepercayaan dari konsumen, dengan dampak pembelian terus meningkat sehingga pada akhirnya tercapai target perusahaan yaitu memperoleh laba yang diharapkan.
- Jujur; Kejujuran merupakan landasan moral yang kadang-kadang dilupakan oleh seorang wirausahawan. Kejujuran dalam berperilaku bersifat kompleks. Kejujuran mengenai karakteristik produk (barang dan jasa) yang ditawarkan, kejujuran mengenai promosi yang dilakukan, kejujuran mengenai pelayanan purnajual yang dijanjikan dan kejujuran mengenai segala kegiatan yang terkait dengan penjualan produk yang dilakukan olehwirausahawan.
- Kreatif dan Inovatif; Untuk memenangkan persaingan, maka seorang wirausahawan harus memiliki daya kreativitas yang tinggi. Daya kreativitas tersebut sebaiknya dilandasi oleh cara berpikir yang maju, penuh dengan gagasan-gagasan baru yang berbeda dengan produk-produk yang telah ada selama ini di pasar. Gagasan-gagasan yang kreatif umumnya tidak dapat dibatasi oleh ruang, bentuk ataupun waktu. Justru seringkali ide-ide jenius yangmemberikan terobosan-terobosan baru dalam dunia usaha awalnya adalah dilandasi oleh gagasan-gagasan kreatif yang kelihatannya mustahil.
- Mandiri; Seseorang dikatakan “mandiri” apabila orang tersebut dapat melakukan keinginan dengan baik tanpa adanya ketergantungan pihak lain dalammengambil keputusan atau bertindak, termasuk mencukupi kebutuhan hidupnya, tanpa adanya ketergantungan dengan pihak lain. Kemandirian merupakan sifat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang wirausahawan. Pada prinsipnya seorang wirausahawan harus memiliki sikap mandiri dalam memenuhi kegiatan usahanya.
- Realistis; Seseorang dikatakan realistis bila orang tersebut mampu menggunakan fakta/realita sebagai landasan berpikir yang rasional dalam setiap pengambilan keputusan maupun tindakan/ perbuatannya. Banyak seorang calon wirausahawan yang berpotensi tinggi, namun pada akhirnya mengalami kegagalan hanya karena wirausahawan tersebut tidak realistis, obyektif dan rasional dalam pengambilan keputusan bisnisnya. Karena itu dibutuhkan kecerdasan dalam melakukan seleksi terhadap masukan-masukan/ sumbang saran yang ada keterkaitan erat dengan tingkat keberhasilan usaha yang sedang dirintis.
Faktor Kegagalan Dalam Wirausaha
Menurut Zimmerer dan Scarborough (2008) ada beberapa faktor
yang menyebabkan wirausaha gagal dalam menjalankan usaha barunya:
- Tidak kompeten dalam manajerial. Tidak kompeten atau tidak memiliki kemampuan dan pengetahuan mengelola usaha merupakan faktor penyebab utama yang membuat perusahaan kurang berhasil.
- Kurang berpengalaman baik dalam kemampuan mengkoordinasikan, keterampilan mengelola sumber daya manusia, maupun kemampuan mengintegrasikan operasi perusahaan.
- Kurang dapat mengendalikan keuangan. Agar perusahaan dapat berhasil dengan baik, faktor yang paling utama dalam keuangan adalah memelihara aliran kas. Mengatur pengeluaran dan penerimaan secara cermat. Kekeliruan memelihara aliran kas menyebabkan operasional perusahan dan mengakibatkan perusahaan tidak lancar.
- Gagal dalam perencanaan. Perencanaan merupakan titik awal dari suatu kegiatan, sekali gagal dalam perencanaan maka akan mengalami kesulitan dalam pelaksanaan.
- Lokasi yang kurang memadai. Lokasi usaha yang strategis merupakan faktor yang menentukan keberhasilan usaha. Lokasi yang tidak strategis dapat mengakibatkan perusahaan sukar beroperasi karena kurang efisien.
- Kurangnya pengawasan peralatan. Pengawasan erat berhubungan dengan efisiensi dan efektivitas. Kurang pengawasan mengakibatkan penggunaan alat tidak efisien dan tidak efektif.
- Sikap yang kurang sungguh-sungguh dalam berusaha. Sikap yang setengah-setengah terhadap usaha akan mengakibatkan usaha yang dilakukan menjadi labil dan gagal. Dengan sikap setengah hati, kemungkinan gagal menjadi besar.
- Ketidakmampuan dalam melakukan peralihan/transisi kewirausahaan. Wirausaha yang kurang siap menghadapi dan melakukan perubahan, tidak akan menjadi wirausaha yang berhasil. Keberhasilan dalam berwirausaha hanya bisa diperoleh apabila berani mengadakan perubahan dan mampu membuat peralihan setiap waktu.
Lulusan Perguruan Tinggi dan Kewirausahaan
Secara
etimologi, kewirausahaan merupakan nilai yang diperlukan untuk memulai suatu
usaha (startupphase) atau suatu proses dalam mengerjakan suatu yang baru
(creative) dan sesuatu yang berbeda (innovate). Oleh karena itu diharapkan setiap lulusan
perguruan tinggi mempunyai sikap, semangat, sikap, perilaku
dan/atau yang mengarah pada upaya mencari, menciptakan, dan menerapkan cara
kerja, teknologi dan produk baru untuk meningkatkan efisiensi dalam rangka
memberikan pelayanan yang lebih baik dan/atau memperoleh keuntungan yang lebih
besar. Dengan kata lain, kewirausahaan juga merupakan pengetahuan tentang nilai,
jiwa, sikap dan tindakan yang dilandasi oleh semangat added value,
sehingga tercermin dalam berpikir, bersikap dan bertindak yang mengutamakan
inovasi, kreativitas dan kemandirian.
Mengapa di Perguruan Tinggi perlu melakukan
pengembangan jiwa kewirausahaan kepada para mahasiswa? Hal itu terkait dengan Keengganan
lulusan perguruan tinggi memilih menjadi wirausahawan. Salah satu factor
penyebabnya adalah karena terjebak dalam mitos yang terbentuk dan berkembang
dalam masyarakat kita bahwa diperlukan modal yang besar untuk memulai suatu
usaha, padahal tidak demikian adanya. Memang benar bahwa semua usaha membutuhkan modal untuk
bisa berjalan; juga benar bahwa banyak bisnis jatuh karena tidak didukung
keuangan yang memadai. Namun ketidakmampuan manajemen, lemahnya pemahaman
terhadap persoalan keuangan; investasi yang buruk dan perencanaan yang jelek adalah
sejumlah variabel yang menentukan jatuh bangunnya sebuah usaha. Banyak wirausahawan
sukses berhasil mengatasi persoalan kekurangan uang dalam menjalankan usahanya
dengan cara yang elegan. Bahkan ada wirausahawan yang sanggup memulai usaha
dengan kemungkinan berhasil 98% (Tung Desem Waringin, 2005).
Pengembangan jiwa kewirausahaan bagi mahasiswa Perguruan
Tinggi dimaksudkan untuk memberikan bekal kepada mahasiswa agar
mahasiswa/alumni memiliki pola pikir, pola sikap dan pola tindak yang
mengutamakan inovasi, kreativitas dan kemandirian.
Tujuan
pembelajaran kewirausahaan di perguruan tinggi adalah bagaimana
mentransformasikan jiwa, sikap dan perilaku wirausaha dari kelompok business
entrepreneur yang dapat menjadi bahan dasar guna merambah lingkungan entrepreneur
lainnya, yakni academic, govenrment dan social entrepreneur.
Desain pembelajaran yang diberikan adalah pembelajaran
yang berorientasi atau diarahkan untuk menghasilkan business entrepreneur terutama
yang menjadi owner entrepreneur atau calon wirausaha mandiri yang mampu
mendirikan, memiliki dan mengelola perusahaan serta dapat memasuki dunia bisnis
dan dunia industri secara profesional. Karenanya pola dasar pembelajaran harus
sistemik, yang di dalamnya memuat aspek-aspek teori, praktek dan implementasi.
Di samping itu dalam pelaksanaan pembelajaran hendaknya disertai
operasionalisasi pendidikan yang relatif utuh menyeluruh seperti pelatihan,
bimbingan, pembinaan, konsultasi dan sebagainya.
Catatan penting yang perlu diingat adalah bahwa
pendidikan kewirausahaan tidak cukup hanya diadakan dalam kelas berbentuk
perkuliahan saja, melainkan harus memberikan kesempatan kepada peserta didik
untuk merasakan langsung bagaimana sulitnya memulai suatu usaha,
menjalankannya, dan juga memperoleh kesempatan untuk mengamati seorang role
model, yaitu wirausaha yang menjalankan usahanya dalam bentuk pemagangan.
Strategi Perubahan Mindset Lulusan Perguruan Tinggi dari
Job Seeker menjadi Job creator
Setiap Perguruan tinggi
harus bisa melahirkan mahasiswa yang kreatif. Pentingnya menciptalan
Fleksibilitas dalam belajar di perguruan tinggi akan ikut mendorong lahirnya
kreativitas dan inovasi bagi setiap lulusannya.
Pendidikan
kewirausahaan di perguruan tinggi bertujuan untuk membentuk manusia secara utuh
(holistik), sebagai insan yang memiliki karakter, pemahaman dan
ketrampilan sebagai wirausaha. Pendidikan kewirausahaan dapat diimplementasikan
secara terpadu dengan kegiatan-kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh dosen
dan mahasiswa secara bersama-sama dalam komunitas pendidikan sehingga diharapkan
akan menciptakan mindset sebagai seorang pencipta kerja (job creator). Berikut
ini adalah strategi mengubah Mindset Lulusan
Perguruan Tinggi dari Job Seeker menjadi Job creator;
- Keluarga Membangun Kultur berwirausaha
Kultur (budaya) berwirausaha suatu keluarga atau suku atau golongan
bahkan bangsa sangat berpengaruh terhadap kemunculan wirausaha-wirausaha baru
yang tangguh. Kultur berwirausaha tidak dapat ditanamkan dalam sekejap.
Memerlukan waktu cukup banyak untuk membangun kultur kewirausahaan Setiap
keluarga harus menanamkan jiwa wirausaha sejak dini dalam diri anak-anak mereka.
Kultur beberapa suku di Indonesia memang mengagungkan
profesi wirausaha sehingga banyak wirausaha tangguh yang berasal dari suku
tersebut. Namun secara umum kultur masyarakat Indonesia masih
mengagungkan profesi yang relatif “tanpa resiko” misalnya menjadi pegawai
negeri, bekerja di perusahaan besar. Pilihan lebih banyak berada para kuadran
kanan (Employee. Lihat. Robert Kiyosaki).
- Penciptaan Iklim Usaha
Era
krisis moneter yang melanda Indonesia awal tahun 1997 menyebabkan banyak
industri besar tumbang, usaha skala kecil sulit tumbuh. Hal ini membuat
pemerintah Indonesia kebingungan mengatasinya dikarenakan berkaitan dengan
timpangnya struktur usaha (industri) yang terlalu memihak pada industri
besar.
Peran
pemerintah ini juga bukan pada pemberian modal, tetapi lebih pada membina
kemampuan industri kecil dan membuat suatu kondisi yang mendorong kemampuan
industri kecil dalam mengakses modal, (Pardede, 2000). Atau dengan kata
lain, pemerintah harus membina kemampuan industri kecil dalam menghitung modal
optimum yang diperlukan, kemampuan menyusun suatu proposal pendanaan ke
lembaga-lembaga pemberi modal, serta mengeluarkan kebijakan atau peraturan yang
lebih memihak industri kecil dalam pemberian kredit.
- Pembenahan Dunia Pendidikan
Pola
pikir para sarjana yang umumnya masih berorientasi untuk menjadi karyawan harus
diubah. Oleh Karena itu peran lembaga pendidikan sebagai pusat inkubasi
pembentukan manusia Indonesia seutuhnya, perlu di tata kembali. Struktur
kurikulum kita yang cenderung menghasil lulusan yang ‘siap pakai’ bukan lulusan
yang ‘siap menghasilkan’.
- Optimalisasi Balai Pelatihan Kewirusahaan
Mengoptimalkan balai latihan kerja (BLK). Dengan pengoptimalan BLK
maka, kekurangan daya serap perguruan tinggi bisa diantisipasi. Disebutkannya,
saat ini BLK belum begitu termanfaatkan untuk mengatasi pengangguran. Begitu
pula dengan BLK-BLK, banyak yang belum berkembang dengan baik terutama dalam
penyerapan para lulusan untuk masuk ke dunia kerja. "Saat ini, yang saya
lihat belum ada perhatian pemerintah untuk pembenahan kearah itu,
- Peningkatan akses modal
Pemerintah
melalui lembaga perbankan dan keuangan diminta membuka akses modal
bagi calon wirausaha, karena selama ini mereka masih kesulitan mendapatkannya
untuk meningkatkan taraf hidup.
- Pendampingan calon wirausaha
Satu hal yang tidak kalah
pentingnya adalah pendampingan yang dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat,
perbankan, konsultan, dan stakeholder lainnya sehingga memberikan kemudahan
serta pencerahan bagi para calon wirausaha. Seringkali lemahnya pendampingan
mengakibatkan modal usaha yang telah dibagikan kepada calon wirausaha, tidak terpakai dengan baik. Para calon
wirausaha lebih sering melakukan konsumsi terhadap modal yang diberikan.
Akibatnya, modal mereka terpakai habis sedangkan usaha belum dapat berjalan
dengan baik.
Kesimpulan
Kesimpulan yang bisa ditarik adalah
bahwa kewirausahaan dipandang sebagai fungsi yang mencakup eksploitasi peluang
peluang yang muncul di pasar. Eksploitasi tersebut sebagian besar berhubungan
dengan pengarahan dan atau kombinasi input yang produktif. Seorang wirausahawan
selalu diharuskan menghadapi resiko atau peluang yang muncul, serta sering
dikaitkan dengan tindakan yang kreatif dan innovatif.
Seperti
yang telah kita ketahui Indonesia masih sangat minim akan orang-orang yang
hendak mencari pendapatan atau menggeluti bidang kewirausahaan atau bisnis.
Padahal bidang ini sangat menjanjikan keuntungan besar apabila kita mendalami
dengan sungguh-sungguh.
Kewirausahaan sangat membantu pemerintah dalam mengatasi
masalah pengangguran serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. membangun semangat kewirausahaan yang tangguh ditengah
tengah masyarakat kita yang masih mengantungkan harapan yang tinggi pada
pilihan menjadi karyawan seringkali mengalami benturan. Jika kita menginginkan
system perekonomian yang kuat maka mau tidak mau kita harus berubah, dengan
mengambil pilihan sebagai seorang wirausaha. Integrasi pendidikan
kewirausahaan di perguruan tinggi harus dapat
dilaksanakan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi
pembelajaran pada semua mata kuliah. Pada tahap perencanaan, silabus dan RPP
dirancang agar muatan maupun kegiatan pembelajarannya memfasilitasi untuk mengintegrasikan
nilai-nilai kewirausahaan. Dengan proses yang
terintegrasi secara melekat mendorong terjadinya perubahan mindset dikalangan
lulusan penguruan tinggi yang lebih berorientasi pada penciptaan lapangan kerja
ketimbang mencari kerja setelah lulus kuliah.
Daftar Rujukan
Aqila S (2010) Tips dan Trik mendapatkan modal usaha &
mengelolanya. Penerbit Mitra Pelajar.Yogyakarta.
Edward. Dj (2009) Rahasia Sukses 25 Pengusaha UKM.
Penerbit Gagas Bisnis. Jakarta.
Kasmir (2009). Kewirausahaan. Penerbit PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta
Kiyosaki Robert T. 2000. Rich Dad's Cashflow Quadrant:
Rich Dad's Guide to Financial Freedom, Bagian 2. Warner Books, USA
Nitisusastro M (2010). Kewirausahaan dan Manajemen Usaha Kecil.
Penerbit Alfabeta, Bandung.
Pardede, F.R. 2000. Analisis Kebijakan Pengembangan Industri
Kecil di Indonesia. Tesis Magister Program Studi Teknik dan Manajemen
Industri. Institut Teknologi Bandung.
Prasetyo A.H (2010). Sukses Mengelola Keuangan Usaha Mikro Kecil
Menengah. Penerbit Kompas Gramedia, Jakarta.
Sumarsono S (2010). Kewirausahaan. Penerbit Graha Ilmu,
Yogyakarta.
Syamsuddin MA &
Susanta G (2009). Cara Mudah Mendirikan
dan Mengelola UMKM. Penerbit Raih Asia Sukses, Jakarta.
Tung Desem Waringin
(2005). Financial Revolution.
Penerbit Gramedia Pustaka, Jakarta.
Zimmerer T.W &
Scarborough N.M (2002). Pengantar
Kewirausahaan dan Manajemen Bisnis Kecil. Pearson Education Asia Pte.Ltd,
Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar