Kamis, 10 Desember 2009

KUMPULAN TULISAN RICKY FOEH

STRATEGI REVITALISASI MINDSET PENCARI KERJA (Job Seeker)
KEPADA PENCIPTA KERJA (Job Creator)

Ricky Ekaputra Foeh*)

Abstrak
Setiap tahunnya angka pengangguran terus bertambah. Memasuki 2011 pengangguran terbuka sekarang sebesar 9,25 juta jiwa, sedangkan data pengangguran terdidik menunjukkan kecenderungan semakin meningkat dari tahun ke tahunnya. Hasil penelitian dan riset Deputi Bidang Pemasaran dan Jaringan Usaha, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) pada tahun 2011 menunjukkan bahwa hanya sekira 6,12 persen lulusan sarjana yang berminat menjadi wirausahawan. Selebihnya 83,18 persen lebih berminat menjadi pegawai. Hal ini menjadi sebuah fenomena yang semakin mengkhawatirkan karena membuktikan bahwa pola pikir para sarjana umumnya berorientasi menjadi pegawai negeri atau karyawan swasta, padahal lapangan kerja baik di swasta dan negeri sangat terbatas dibanding angkatan kerja. Sistem Pendidikan di Indonesia justru melahirkan para pencari kerja baru, bukan pencipta lapangan kerja. Mindset (pola pikir) kaum intelek mesti di revitalisasi agar terpola menjadi job creator ketimbang menjadi job seeker. Target program nasional pada 2014 mendatang terpenuhi, minimal 2,5 persen dari jumlah penduduk di Indonesia adalah berwirausaha. Mindset mahasiswa harus diubah dari pencari menjadi pencipta kerja

Kata Kunci: Mindset, Pencari Kerja, Pencipta Kerja, Kewirausahaan


Pendahuluan
Setiap manusia membutuhkan makanan, minuman, tempat tinggal, kepuasan dan kebutuhan fisik lainnya selain dari kebutuhan akan rasa aman dan perlindungan dari gangguan fisik dan emosional yang merugikan. Untuk memenuhi akan semua kebutuhan tersebut seseorang harus bekerja. Lewat pekerjaan ada upah yang diterima. Pekerjaan yang dilakukan dapat melalui sektor formal yang mana adalah kegiatan usaha yang berlangsung secara formal kelembagaan seperti pada kantor kantor pemerintahan, perusahaan, dan badan usaha, sedangkan sector informal di identikan dengan usaha mikro, kecil dan menengah.
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa jumlah penduduk Indonesia  pada akhir 2011 sekitar 118,6 juta orang atau 69% dari penduduk  usia kerja diproyeksikan akan memasuki pasar kerja, suatu jumlah yang sangat mengkhawatirkan melihat kemampuan ekonomi Indonesia saat ini.  Angkatan kerja yang menganggur diperkirakan mencapai sekitar 7,5 juta orang atau 6,4% dari angkatan kerja.  Bahkan mereka yang lulus perguruan tinggi semakin sulit mendapatkan pekerjaan, karena tidak banyak terjadi ekspansi kegiatan usaha. Dalam keadaan seperti ini maka masalah pengangguran termasuk yang berpendidikan tinggi akan berdampak negatif terhadap stabilitas sosial dan kemasyarakatan.
Fenomena yang muncul adalah banyaknya lulusan perguruan tinggi yang lebih memilih menjadi pegawai negeri/karyawan swasta (employee) ketimbang membuka lapangan kerja. Sikap mandiri dengan tidak menggantungkan harapan untuk bekerja kantoran, atau menjadi Pegawai/karyawan (employee), tampaknya belum akrab dalam benak sebagian besar para calon sarjana. Mereka berasumsi bahwa ketika lulus kuliah, kemudian mendapat pekerjaan kantoran, atau menjadi Pegawai/karyawan (employee), akan menjamin masa depan mereka kelak. Padahal kesempatan kerja pada organisasi pemerintahan hanya dibuka setiap tahun, bagi mereka yang berminat menjadi PNS dengan tujuan untuk mengisi lowongan mereka yang telah pensiun, meninggal dunia atau keluar dari pekerjaannya. Jumlah lowongan yang tersedia sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah yang melamar. Hal ini mendorong adanya persaingan yang sangat ketat diantara para peserta tes. Semuanya berlomba menjadi yang terbaik agar direkrut. Bagi mereka yang tidak lulus tes akan menambah deretan jumlah angkatan kerja yang semakin bertambah dan bertambah.
Kenyataan bahwa sebagian besar lulusan Perguruan Tinggi adalah lebih sebagai pencari kerja (job seeker) daripada pencipta lapangan pekerjaan (job creator) merupakan salah satu penyebab tingginya angka pengangguran berpendidikan tinggi. Hal ini dimungkinkan karena sistem pembelajaran yang diterapkan di perguruan tinggi saat ini lebih terfokus pada bagaimana menyiapkan para mahasiswa yang cepat lulus dan mendapatkan pekerjaan, bukan sebagai lulusan yang siap bekerja dengan menciptakan pekerjaan. Selain itu secara umum aktivitas kewirausahaan (Entrepreneurial Activity) mahasiswa relatif masih rendah. Entrepreneurial Activity diterjemahkan sebagai individu aktif dalam memulai bisnis baru dan dinyatakan dalam persen total penduduk aktif bekerja. Semakin tinggi indek Entrepreneurial Activity, maka semakin tinggi level entrepreneurship suatu negara (Boulton dan Turner, 2005). 
Kementerian Koperasi dan UKM menyatakan, bahwa populasi wirausaha di Indonesia ternyata masih terbilang rendah. Dari jumlah penduduk yang mencapai 200 juta lebih, jumlah wirausaha baru di Indonesia baru mencapai 400 ribu orang atau sekitar 0,2%.  Idealnya, jumlah wirausaha mencapai 2% atau 4,8 juta orang.
Pilihan yang diambil tidaklah keliru, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Coba kita tanya kepada para mahasiswa, para calon sarjana tentang rencana mereka setelah lulus kuliah nanti. Akan muncul berbagai jawaban praktis-pragmatis yaitu “mencari kerja”., jika kita cermati lebih jauh hal ini menyiratkan sebuah ketidakpastian. Apakah kita lantas membiarkan mereka terus berusaha mencari pekerjaan, karena, mencari adalah sama dengan belum menemukan sesuatu. Proses mencari tentu memakan waktu yang tidak menentu.
Fakta menunjukkan pilihan yang diambil oleh sebagian besar lulusan kita saat ini lebih banyak menciptakan pengangguran dibandingkan meningkatkan jumlah lapangan kerja. Sebagai akibat dari belum pulihnya iklim investasi, terbatas peluang kerja, dan bertambahnya angkatan kerja baru dari pendidikan diploma dan sarjana sebesar 1,5 juta jiwa hingga 2 juta jiwa per tahunnya maka tidak mengherankan jumlah pengangguran terus bertambah setiap tahunnya.
Sudah saatnya, kita perlu  merevitalisasi mindset (pola pikir) para lulusan perguruan tinggi dari mereka yang berpikir sebagai pencari kerja menjadi seorang yang berpikir untuk menjadi pencipta kerja. Semangat kewirausahaan harus ditanamkan dalam diri generasi bangsa kita sejak dini. Sikap keragu-raguan, untuk berpindah dari kuadran “employee” ke kuadran “pengusaha/pemilik usaha” harus dihilangkan.  Kendati untuk memulai suatu usaha membutuhkan setidaknya keberanian untuk mengexplorasi ide bisnis dan menjadikannya bernilai.
Pola pikir yang kita anut selama ini harus diperbaiki secara tepat antara lain:
1)      Tidak mempunyai keyakinan, gantikan dengan sebuah keyakinan yang kokoh untuk menjadi yang terbaik
2)      Tidak mempunyai tujuan hidup yang jelas, gantikan dengan menetapkan tujuan hidup yang jelas dan mantap
3)      Tidak mempunyai strategi yang ampuh mengatasi kesulitan hidup, gantikan dengan belajar dari orang lain dan berpikirlah secara komprehensif untuk mengatasi setiap persoalan yang dihadapi
4)      Tidak mempunyai rencana yang realistic, gantikan dengan tetapkan rencana yang masuk akal untuk dapat dicapai dalam kurun waktu tertentu dengan cara yang elegan.
Untuk menumbuhkembangkan jiwa kewirausahaan dan meningkatkan aktivitas kewirausahaan agar para lulusan perguruan tinggi lebih menjadi pencipta lapangan kerja dari pada pencari kerja, maka diperlukan suatu usaha nyata. Berbagai kebijakan dan program untuk mendukung terciptanya lulusan perguruan tinggi yang lebih siap bekerja dan menciptakan pekerjaan. Program Magang Kewirausahaan (MKU), Kuliah Kerja Usaha (KKU), Kuliah Kewirausahaan (KWU), Program Kreativitas Mahasiswa (PKM), telah banyak menghasilkan alumni yang terbukti lebih kompetitif di dunia kerja, dan hasil-hasil karya invosi mahasiswa melalui PKM potensial untuk ditindaklanjuti secara komersial menjadi sebuah embrio bisnis berbasis Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni (Ipteks).
Wirausaha dan Kewirausahaan
Banyaknya jumlah pengangguran ini tak lepas dari paradigma berpikir (mindset) generasi muda yang rata-rata ingin menjadi pegawai, sementara ketersediaan lapangan kerja di sektor formal sangat terbatas. Hal ini sangat disayangkan, mengingat kemampuan dan kreativitas generasi muda saat ini sangat tinggi dan memiliki potensi untuk dikembangkan.
Menurut David McClelland, untuk menjadi negara maju dan makmur, minimal jumlah wirausaha yang dibutuhkan adalah 2% dari total jumlah penduduk. Amerika Serikat, tahun 2007 memiliki 11,5% entrepreneur, Singapura pada tahun 2005 memiliki 7,2 % entrepreneur, sedangkan Indonesia hanya memiliki 0,18% entrepreneur.
Untuk menjadi sebuah negara maju, Indonesia perlu menambah lagi jumlah pengusaha minimal dua persen dari total penduduk. Peran sektor swasta ikut menentukan kemajuan bangsa. Jumlah usahawan di Indonesia saat ini masih 0,18 persen dan ini harus ditingkatkan minimal dua persen dari total penduduknya guna menuju negara maju.
Dalam pandangan penulis, wirausaha adalah seseorang yang mengkombinasikan sumber daya, tenaga kerja, material dan aset-aset lain sehingga nilainya menjadi lebih tinggi dari sebelumnya.
Berwirausaha berarti menciptakan sesuatu yang tidak ada menjadi ada dan bermakna bagi manusia melalui tindakan kreatif dan inovatif.  Wirausahawan cenderung  menggunakan energinya untuk melakukan dan membangun suatu kegiatan. Seorang wirausahawan yang tahu bagaimana menemukan sesuatu, merangkai, dan mengendalikan sumber-sumber (yang kadang-kadang dimiliki oleh orang lain) untuk mewujudkan tujuannya.
Pandangan penulis ini di pertegas dengan pandangan Richard Cantillon (1775) tentang Kewirausahaan yang didefinisikan sebagai bekerja sendiri (self-employment). Seorang wirausahawan membeli barang saat ini pada harga tertentu dan menjualnya pada masa yang akan datang dengan harga tidak menentu.
Frank Knight (1921) mendefinisikan wirausahawan mencoba untuk memprediksi dan menyikapi perubahan pasar. Definisi ini menekankan pada peranan wirausahawan dalam menghadapi ketidakpastian pada dinamika pasar. Seorang wirausahawan disyaratkan untuk melaksanakan fungsi-fungsi manajerial mendasar seperti pengarahan dan pengawasan.
Joseph Schumpeter (1934), memberikan arti Wirausahawan adalah seorang inovator yang mengimplementasikan perubahan perubahan di dalam pasar melalui kombinasi-kombinasi baru. Kombinasi baru tersebut bisa dalam bentuk (1) memperkenalkan produk baru atau dengan kualitas baru, (2) memperkenalkan metoda produksi baru, (3) membuka pasar yang baru (new market), (4) Memperoleh sumber pasokan baru dari bahan atau komponen baru, atau (5) menjalankan organisasi baru pada suatu industri. Schumpeter mengkaitkan wirausaha dengan konsep inovasi yang diterapkan dalam konteks bisnis serta mengkaitkannya dengan kombinasi sumber daya.
Penrose (1963), berujar bahwa Kegiatan kewirausahaan mencakup indentifikasi peluang-peluang di dalam system ekonomi. Kapasitas atau kemampuan manajerial berbeda dengan kapasitas kewirausahaan.
Harvey Leibenstein (1968), Kewirausahaan mencakup kegiatan-kegiatann yang dibutuhkan untuk menciptakan atau melaksanakan perusahaan pada saat semua pasar belum terbentuk atau belum teridentifikasi dengan jelas, atau komponen fungsi produksinya belum diketahui sepenuhnya.
Peter F. Drucker, berpendapat bahwa Kewirausahaan merupakan kemampuan dalam menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda. Pengertian ini mengandung maksud bahwa seorang wirausahan adalah orang yang memiliki kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru, berbeda dari yang lain. Atau mampu menciptakan sesuatu yang berbeda dengan yang sudah ada sebelumnya.
Zimmerer dan Scarborough, berpendapat kewirausahaan sebagai suatu proses penerapan kreativitas dan inovasi dalam memecahkan persoalan dan menemukan peluang untuk memperbaiki kehidupan (usaha).
Salah satu kesimpulan yang bisa ditarik dari berbagai pengertian tersebut adalah bahwa
  1. Seorang wirausahawan selalu diharuskan menghadapi resiko atau peluang yang muncul, serta sering dikaitkan dengan tindakan yang kreatif dan innovatif. Wirausahawan adalah orang yang merubah nilai sumber daya, tenaga kerja, bahan dan faktor produksi lainnya menjadi lebih besar daripada sebelumnya dan juga orang yang melakukan perubahan, inovasi dan cara-cara baru. Selain itu, seorang wirausahawan menjalankan peranan manajerial dalam kegiatannya, tetapi manajemen rutin pada operasi yang sedang berjalan tidak digolongkan sebagai kewirausahaan. Seorang individu mungkin menunjukkan fungsi.
  2. Kewirausahaan dipandang sebagai fungsi yang mencakup eksploitasi peluangpeluang yang muncul di pasar. Eksploitasi tersebut sebagian besar berhubungan dengan pengarahan dan atau kombinasi input yang produktif. kewirausahaan ketika membentuk sebuah organisasi, tetapi selanjutnya menjalankan fungsi manajerial tanpa menjalankan fungsi kewirausahaannya. Jadi kewirausahaan bias bersifat sementara atau kondisional. Kewirausahaan adalah proses penciptaan sesuatu yang berbeda nilainya dengan menggunakan usaha dan waktu yang diperlukan, memikul resiko finansial, psikologi dan sosial yang menyertainya, serta menerima balas jasa moneter dan kepuasan pribadi.

Ciri-ciri dan Sifat Kewirausahaan

Untuk dapat mencapai tujuan yang diharapkan, maka setiap orang memerlukan ciri-ciri dan juga memiliki sifat-sifat dalam kewirausahaan. Ciri-ciri seorang wirausaha adalah:
  • Memiliki Rasa Percaya diri
  • Selalu Berorientasikan tugas dan hasil
  • Seorang Pengambil risiko
  • Memiliki sikap Kepemimpinan
  • Keorisinilan dalam usaha
  • Selalu Berorientasi ke masa depan
  • Memiliki kejujuran dan ketekunan
Sifat-sifat seorang wirausaha adalah:
  • Memiliki sifat keyakinan, kemandirian, individualitas, optimisme.
  • Selalu berusaha untuk berprestasi, berorientasi pada laba, memiliki ketekunan dan ketabahan, memiliki tekad yang kuat, suka bekerja keras, energik ddan memiliki inisiatif.
  • Memiliki kemampuan mengambil risiko dan suka pada tantangan.
  • Bertingkah laku sebagai pemimpin, dapat bergaul dengan orang lain dan suka terhadap saran dan kritik yang membangun.
  • Memiliki inovasi dan kreativitas tinggi, fleksibel, serba bisa dan memiliki jaringan bisnis yang luas.
  • Memiliki persepsi dan cara pandang yang berorientasi pada masa depan.
  • Memiliki keyakinan bahwa hidup itu sama dengan kerja keras.

Tahap-tahap kewirausahaan

Secara umum ada beberapa tahap-tahap dalam melakukan wirausaha:
Tahap memulai; Tahap di mana seseorang yang berniat untuk melakukan usaha mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan, diawali dengan melihat peluang usaha baru yang mungkin apakah membuka usaha baru, melakukan akuisisi, atau melakukan ‘’franchising’’. Tahap ini juga memilih jenis usaha yang akan dilakukan apakah di bidang pertanian, industri, atau jasa.
Tahap melaksanakan usaha; Dalam tahap ini seorang wirausahawan mengelola berbagai aspek yang terkait dengan usahanya, mencakup aspek-aspek: pembiayaan, SDM, kepemilikan, organisasi, kepemimpinan yang meliputi bagaimana mengambil risiko dan mengambil keputusan, pemasaran, dan melakukan evaluasi.
Tahap mempertahankan usaha; Tahap di mana wirausahawan berdasarkan hasil yang telah dicapai melakukan analisis perkembangan yang dicapai untuk ditindaklanjuti sesuai dengan kondisi yang dihadapi.
Tahap mengembangkan usaha; Tahap di mana jika hasil yang diperoleh tergolong positif atau mengalami perkembangan atau dapat bertahan maka perluasan usaha menjadi salah satu pilihan yang mungkin diambil.

Sikap wirausaha

Dari daftar ciri dan sifat watak seorang wirausahawan di atas, dapat kita identifikasi sikap seorang wirausahawan yang dapat diangkat dari kegiatannya sehari-hari, sebagai berikut:
  • Disiplin; dalam melaksanakan kegiatannya, seorang wirausahawan harus memiliki kedisiplinan yang tinggi. Arti dari kata disiplin itu sendiri adalah ketepatan komitmen wirausahawan terhadap tugas dan pekerjaannya. Ketepatan yang dimaksud bersifat menyeluruh, yaitu ketepatan terhadap waktu, kualitas pekerjaan, sistem kerja dan sebagainya. Ketepatan terhadap waktu, dapat dibina dalam diri seseorang dengan berusaha menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan waktu yang direncanakan. Sifat sering menunda pekerjaan dengan berbagai macam alasan, adalah kendala yang dapat menghambat seorang wirausahawan meraih keberhasilan. Kedisiplinan terhadap komitmen akan kualitas pekerjaan dapat dibina dengan ketaatan wirausahawan akan komitmen tersebut. Wirausahawan harus taat azas. Hal tersebut akan dapat tercapai jika wirausahawan memiliki kedisiplinan yang tinggi terhadap sistem kerja yang telah ditetapkan. Ketaatan wirausahawan akan kesepakatan-kesepakatan yang dibuatnya adalah contoh dari kedisiplinan akan kualitas pekerjaan dan sistem kerja.
  • Komitmen Tinggi; Komitmen adalah kesepakatan mengenai sesuatu hal yang dibuat oleh seseorang, baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain. Dalam melaksanakan kegiatannya, seorang wirausahawan harus memiliki komitmen yang jelas, terarah dan bersifat progresif (berorientasi pada kemajuan. Komitmen terhadap dirinya sendiri dapat dibuat dengan identifikasi cita-cita, harapan dan target-target yang direncanakan dalam hidupnya. Sedangkan contoh komitmen wirausahawan terhadap orang lain terutama konsumennya adalah pelayanan prima yang berorientasi pada kepuasan konsumen, kualitas produk yang sesuai dengan harga produk yang ditawarkan, penyelesaian bagi masalah konsumen, dan sebagainya.Seorang wirausahawan yang teguh menjaga komitmennya terhadapkonsumen, akan memiliki nama baik di mata konsumen yang akhirnya wirausahawan tersebut akan mendapatkan kepercayaan dari konsumen, dengan dampak pembelian terus meningkat sehingga pada akhirnya tercapai target perusahaan yaitu memperoleh laba yang diharapkan.
  • Jujur; Kejujuran merupakan landasan moral yang kadang-kadang dilupakan oleh seorang wirausahawan. Kejujuran dalam berperilaku bersifat kompleks. Kejujuran mengenai karakteristik produk (barang dan jasa) yang ditawarkan, kejujuran mengenai promosi yang dilakukan, kejujuran mengenai pelayanan purnajual yang dijanjikan dan kejujuran mengenai segala kegiatan yang terkait dengan penjualan produk yang dilakukan olehwirausahawan.
  • Kreatif dan Inovatif; Untuk memenangkan persaingan, maka seorang wirausahawan harus memiliki daya kreativitas yang tinggi. Daya kreativitas tersebut sebaiknya dilandasi oleh cara berpikir yang maju, penuh dengan gagasan-gagasan baru yang berbeda dengan produk-produk yang telah ada selama ini di pasar. Gagasan-gagasan yang kreatif umumnya tidak dapat dibatasi oleh ruang, bentuk ataupun waktu. Justru seringkali ide-ide jenius yangmemberikan terobosan-terobosan baru dalam dunia usaha awalnya adalah dilandasi oleh gagasan-gagasan kreatif yang kelihatannya mustahil.
  • Mandiri;  Seseorang dikatakan “mandiri” apabila orang tersebut dapat melakukan keinginan dengan baik tanpa adanya ketergantungan pihak lain dalammengambil keputusan atau bertindak, termasuk mencukupi kebutuhan hidupnya, tanpa adanya ketergantungan dengan pihak lain. Kemandirian merupakan sifat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang wirausahawan. Pada prinsipnya seorang wirausahawan harus memiliki sikap mandiri dalam memenuhi kegiatan usahanya.
  • Realistis; Seseorang dikatakan realistis bila orang tersebut mampu menggunakan fakta/realita sebagai landasan berpikir yang rasional dalam setiap pengambilan keputusan maupun tindakan/ perbuatannya. Banyak seorang calon wirausahawan yang berpotensi tinggi, namun pada akhirnya mengalami kegagalan hanya karena wirausahawan tersebut tidak realistis, obyektif dan rasional dalam pengambilan keputusan bisnisnya. Karena itu dibutuhkan kecerdasan dalam melakukan seleksi terhadap masukan-masukan/ sumbang saran yang ada keterkaitan erat dengan tingkat keberhasilan usaha yang sedang dirintis.

Faktor Kegagalan Dalam Wirausaha

Menurut Zimmerer dan Scarborough (2008) ada beberapa faktor yang menyebabkan wirausaha gagal dalam menjalankan usaha barunya:
  • Tidak kompeten dalam manajerial. Tidak kompeten atau tidak memiliki kemampuan dan pengetahuan mengelola usaha merupakan faktor penyebab utama yang membuat perusahaan kurang berhasil.
  • Kurang berpengalaman baik dalam kemampuan mengkoordinasikan, keterampilan mengelola sumber daya manusia, maupun kemampuan mengintegrasikan operasi perusahaan.
  • Kurang dapat mengendalikan keuangan. Agar perusahaan dapat berhasil dengan baik, faktor yang paling utama dalam keuangan adalah memelihara aliran kas. Mengatur pengeluaran dan penerimaan secara cermat. Kekeliruan memelihara aliran kas menyebabkan operasional perusahan dan mengakibatkan perusahaan tidak lancar.
  • Gagal dalam perencanaan. Perencanaan merupakan titik awal dari suatu kegiatan, sekali gagal dalam perencanaan maka akan mengalami kesulitan dalam pelaksanaan.
  • Lokasi yang kurang memadai. Lokasi usaha yang strategis merupakan faktor yang menentukan keberhasilan usaha. Lokasi yang tidak strategis dapat mengakibatkan perusahaan sukar beroperasi karena kurang efisien.
  • Kurangnya pengawasan peralatan. Pengawasan erat berhubungan dengan efisiensi dan efektivitas. Kurang pengawasan mengakibatkan penggunaan alat tidak efisien dan tidak efektif.
  • Sikap yang kurang sungguh-sungguh dalam berusaha. Sikap yang setengah-setengah terhadap usaha akan mengakibatkan usaha yang dilakukan menjadi labil dan gagal. Dengan sikap setengah hati, kemungkinan gagal menjadi besar.
  • Ketidakmampuan dalam melakukan peralihan/transisi kewirausahaan. Wirausaha yang kurang siap menghadapi dan melakukan perubahan, tidak akan menjadi wirausaha yang berhasil. Keberhasilan dalam berwirausaha hanya bisa diperoleh apabila berani mengadakan perubahan dan mampu membuat peralihan setiap waktu.
Lulusan Perguruan Tinggi dan Kewirausahaan
Secara etimologi, kewirausahaan merupakan nilai yang diperlukan untuk memulai suatu usaha (startupphase) atau suatu proses dalam mengerjakan suatu yang baru (creative) dan sesuatu yang berbeda (innovate). Oleh karena itu diharapkan setiap lulusan perguruan tinggi mempunyai sikap, semangat, sikap, perilaku dan/atau yang mengarah pada upaya mencari, menciptakan, dan menerapkan cara kerja, teknologi dan produk baru untuk meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik dan/atau memperoleh keuntungan yang lebih besar. Dengan kata lain, kewirausahaan  juga merupakan pengetahuan tentang nilai, jiwa, sikap dan tindakan yang dilandasi oleh semangat added value, sehingga tercermin dalam berpikir, bersikap dan bertindak yang mengutamakan inovasi, kreativitas dan kemandirian.
Mengapa di Perguruan Tinggi perlu melakukan pengembangan jiwa kewirausahaan kepada para mahasiswa? Hal itu terkait dengan Keengganan lulusan perguruan tinggi memilih menjadi wirausahawan. Salah satu factor penyebabnya adalah karena terjebak dalam mitos yang terbentuk dan berkembang dalam masyarakat kita bahwa diperlukan modal yang besar untuk memulai suatu usaha, padahal tidak demikian adanya. Memang benar bahwa semua usaha membutuhkan modal untuk bisa berjalan; juga benar bahwa banyak bisnis jatuh karena tidak didukung keuangan yang memadai. Namun ketidakmampuan manajemen, lemahnya pemahaman terhadap persoalan keuangan; investasi yang buruk dan perencanaan yang jelek adalah sejumlah variabel yang menentukan jatuh bangunnya sebuah usaha. Banyak wirausahawan sukses berhasil mengatasi persoalan kekurangan uang dalam menjalankan usahanya dengan cara yang elegan. Bahkan ada wirausahawan yang sanggup memulai usaha dengan kemungkinan berhasil 98% (Tung Desem Waringin, 2005).
Pengembangan jiwa kewirausahaan bagi mahasiswa Perguruan Tinggi dimaksudkan untuk memberikan bekal kepada mahasiswa agar mahasiswa/alumni memiliki pola pikir, pola sikap dan pola tindak yang mengutamakan inovasi, kreativitas dan kemandirian.
Tujuan pembelajaran kewirausahaan di perguruan tinggi adalah bagaimana mentransformasikan jiwa, sikap dan perilaku wirausaha dari kelompok business entrepreneur yang dapat menjadi bahan dasar guna merambah lingkungan entrepreneur lainnya, yakni academic, govenrment dan social entrepreneur.
Desain pembelajaran yang diberikan adalah pembelajaran yang berorientasi atau diarahkan untuk menghasilkan business entrepreneur terutama yang menjadi owner entrepreneur atau calon wirausaha mandiri yang mampu mendirikan, memiliki dan mengelola perusahaan serta dapat memasuki dunia bisnis dan dunia industri secara profesional. Karenanya pola dasar pembelajaran harus sistemik, yang di dalamnya memuat aspek-aspek teori, praktek dan implementasi. Di samping itu dalam pelaksanaan pembelajaran hendaknya disertai operasionalisasi pendidikan yang relatif utuh menyeluruh seperti pelatihan, bimbingan, pembinaan, konsultasi dan sebagainya.
Catatan penting yang perlu diingat adalah bahwa pendidikan kewirausahaan tidak cukup hanya diadakan dalam kelas berbentuk perkuliahan saja, melainkan harus memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk merasakan langsung bagaimana sulitnya memulai suatu usaha, menjalankannya, dan juga memperoleh kesempatan untuk mengamati seorang role model, yaitu wirausaha yang menjalankan usahanya dalam bentuk pemagangan.
Strategi Perubahan Mindset Lulusan Perguruan Tinggi dari Job Seeker menjadi Job creator
Setiap Perguruan tinggi harus bisa melahirkan mahasiswa yang kreatif.  Pentingnya menciptalan Fleksibilitas dalam belajar di perguruan tinggi akan ikut mendorong lahirnya kreativitas dan inovasi bagi setiap lulusannya.
Pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi bertujuan untuk membentuk manusia secara utuh (holistik), sebagai insan yang memiliki karakter, pemahaman dan ketrampilan sebagai wirausaha. Pendidikan kewirausahaan dapat diimplementasikan secara terpadu dengan kegiatan-kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh dosen dan mahasiswa secara bersama-sama dalam komunitas pendidikan sehingga diharapkan akan menciptakan mindset sebagai seorang pencipta kerja (job creator). Berikut ini adalah strategi mengubah Mindset Lulusan Perguruan Tinggi dari Job Seeker menjadi Job creator;
  1. Keluarga Membangun Kultur berwirausaha
Kultur (budaya) berwirausaha suatu keluarga atau suku atau golongan bahkan bangsa sangat berpengaruh terhadap kemunculan wirausaha-wirausaha baru yang tangguh. Kultur berwirausaha tidak dapat ditanamkan dalam sekejap. Memerlukan waktu cukup banyak untuk membangun kultur kewirausahaan  Setiap keluarga harus menanamkan jiwa wirausaha sejak dini dalam diri anak-anak mereka. 
Kultur beberapa suku di Indonesia memang mengagungkan profesi wirausaha sehingga banyak wirausaha tangguh yang berasal dari suku tersebut.  Namun secara umum kultur masyarakat Indonesia masih mengagungkan profesi yang relatif “tanpa resiko” misalnya menjadi pegawai negeri, bekerja di perusahaan besar. Pilihan lebih banyak berada para kuadran kanan (Employee. Lihat. Robert Kiyosaki).
  1. Penciptaan Iklim Usaha
Era krisis moneter yang melanda Indonesia awal tahun 1997 menyebabkan banyak industri besar tumbang, usaha skala kecil sulit tumbuh.  Hal ini membuat pemerintah Indonesia kebingungan mengatasinya dikarenakan berkaitan dengan timpangnya struktur usaha (industri) yang terlalu memihak pada industri besar. 
Peran pemerintah ini juga bukan pada pemberian modal, tetapi lebih pada membina kemampuan industri kecil dan membuat suatu kondisi yang mendorong kemampuan industri kecil dalam mengakses modal, (Pardede, 2000).  Atau dengan kata lain, pemerintah harus membina kemampuan industri kecil dalam menghitung modal optimum yang diperlukan, kemampuan menyusun suatu proposal pendanaan ke lembaga-lembaga pemberi modal, serta mengeluarkan kebijakan atau peraturan yang lebih memihak industri kecil dalam pemberian kredit.
  1. Pembenahan Dunia Pendidikan
Pola pikir para sarjana yang umumnya masih berorientasi untuk menjadi karyawan harus diubah. Oleh Karena itu peran lembaga pendidikan sebagai pusat inkubasi pembentukan manusia Indonesia seutuhnya, perlu di tata kembali. Struktur kurikulum kita yang cenderung menghasil lulusan yang ‘siap pakai’ bukan lulusan yang ‘siap menghasilkan’.
  1. Optimalisasi Balai Pelatihan Kewirusahaan
Mengoptimalkan balai latihan kerja (BLK). Dengan pengoptimalan BLK maka, kekurangan daya serap perguruan tinggi bisa diantisipasi. Disebutkannya, saat ini BLK belum begitu termanfaatkan untuk mengatasi pengangguran. Begitu pula dengan BLK-BLK, banyak yang belum berkembang dengan baik terutama dalam penyerapan para lulusan untuk masuk ke dunia kerja. "Saat ini, yang saya lihat belum ada perhatian pemerintah untuk pembenahan kearah itu,
  1. Peningkatan akses modal
Pemerintah melalui lembaga perbankan dan keuangan diminta membuka akses modal bagi calon wirausaha, karena selama ini mereka masih kesulitan mendapatkannya untuk meningkatkan taraf hidup.

  1. Pendampingan calon wirausaha
Satu hal yang tidak kalah pentingnya adalah pendampingan yang dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat, perbankan, konsultan, dan stakeholder lainnya sehingga memberikan kemudahan serta pencerahan bagi para calon wirausaha. Seringkali lemahnya pendampingan mengakibatkan modal usaha yang telah dibagikan kepada calon wirausaha, tidak terpakai dengan baik. Para calon wirausaha lebih sering melakukan konsumsi terhadap modal yang diberikan. Akibatnya, modal mereka terpakai habis sedangkan usaha belum dapat berjalan dengan baik.
Kesimpulan
Kesimpulan yang bisa ditarik adalah bahwa kewirausahaan dipandang sebagai fungsi yang mencakup eksploitasi peluang peluang yang muncul di pasar. Eksploitasi tersebut sebagian besar berhubungan dengan pengarahan dan atau kombinasi input yang produktif. Seorang wirausahawan selalu diharuskan menghadapi resiko atau peluang yang muncul, serta sering dikaitkan dengan tindakan yang kreatif dan innovatif.
Seperti yang telah kita ketahui Indonesia masih sangat minim akan orang-orang yang hendak mencari pendapatan atau menggeluti bidang kewirausahaan atau bisnis. Padahal bidang ini sangat menjanjikan keuntungan besar apabila kita mendalami dengan sungguh-sungguh.
Kewirausahaan sangat membantu pemerintah dalam mengatasi masalah pengangguran serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. membangun semangat kewirausahaan yang tangguh ditengah tengah masyarakat kita yang masih mengantungkan harapan yang tinggi pada pilihan menjadi karyawan seringkali mengalami benturan. Jika kita menginginkan system perekonomian yang kuat maka mau tidak mau kita harus berubah, dengan mengambil pilihan sebagai seorang wirausaha. Integrasi pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi harus dapat  dilaksanakan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran pada semua mata kuliah. Pada tahap perencanaan, silabus dan RPP dirancang agar muatan maupun kegiatan pembelajarannya memfasilitasi untuk mengintegrasikan nilai-nilai kewirausahaan. Dengan proses yang terintegrasi secara melekat mendorong terjadinya perubahan mindset dikalangan lulusan penguruan tinggi yang lebih berorientasi pada penciptaan lapangan kerja ketimbang mencari kerja setelah lulus kuliah.



Daftar Rujukan

Aqila S (2010) Tips dan Trik mendapatkan modal usaha & mengelolanya. Penerbit Mitra Pelajar.Yogyakarta.
Edward. Dj (2009) Rahasia Sukses 25 Pengusaha UKM. Penerbit Gagas Bisnis. Jakarta.
Kasmir (2009). Kewirausahaan. Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta
Kiyosaki Robert T. 2000. Rich Dad's Cashflow Quadrant: Rich Dad's Guide to Financial Freedom, Bagian 2. Warner Books, USA
Nitisusastro M (2010). Kewirausahaan dan Manajemen Usaha Kecil. Penerbit Alfabeta, Bandung.
Pardede, F.R. 2000.  Analisis Kebijakan Pengembangan Industri Kecil di Indonesia.  Tesis Magister Program Studi Teknik dan Manajemen Industri.  Institut Teknologi Bandung.
Prasetyo A.H (2010). Sukses Mengelola Keuangan Usaha Mikro Kecil Menengah. Penerbit Kompas Gramedia, Jakarta.
Sumarsono S (2010). Kewirausahaan. Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta.
Syamsuddin MA & Susanta G (2009). Cara Mudah Mendirikan dan Mengelola UMKM. Penerbit Raih Asia Sukses, Jakarta.
Tung Desem Waringin (2005). Financial Revolution. Penerbit Gramedia Pustaka, Jakarta.
Zimmerer T.W & Scarborough N.M (2002). Pengantar Kewirausahaan dan Manajemen Bisnis Kecil. Pearson Education Asia Pte.Ltd, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar